.FS_translate img {filter:alpha(opacity=50);-moz-opacity: 0.70;opacity: 0.70;border:0; margin:1px;}

jangan lupa diketik

kunjungi juga ini !!!

7 Nov 2011

Penyebab Dayak Mualang Mengayau !!!


Sedikit ngangkat cerita rakyat dari tempat asal Big-bozz (Bapak aku) dulu nie, tepatnya cerita dayak mualang yang ada di kalimantan barat,!!!..... masalahnya cerita rakyat yang ada udah sering di ceritakan ma orang, jadi ngangkat cerita ini (lumayan lah) buat nambah-nambah postingan wuakakakakakakakkkkk!!
jangan lupa komentarnya sob....


Pada jaman dahulu, dalam komunitas orang Mualang (sebelumnya disebut orang Menua ketika masih berada di Tampun Juah, hiduplah dua orang pasangan suami istri yang bernama Lemamakng Culi (laki-laki) dan istrinya Lemunik Ari. Di masa itu, kehidupan manusia masih mengalami banyak keanehan, di antaranya hubungan komunikasi dengan makhluk halus, binatang dan sebagainya dilalui biasa-biasa saja malah kadang terjalin keakraban dan komunikasi yang baik.

Pasangan ini mempunyai tujuh orang anak yang mempunyai rupa burung. Ketujuh orang anaknya itu disebut sebagai; Sengalang Burong. Mereka adalah: Burung Papau, Burung Beragai, Burung Bejampung, Burung Pangkas, Burung Gemuas, Burung Ketupong, dan Burung Gegurak.
Masa itu kehidupan manusia dengan alam dan kehidupan ritual magis sangatlah harmonis. Karena mempunyai anak-anak berupa burung, maka anak-anak tersebut dipercaya dapat membantu kehidupan masyarakat sebagai burung pengetahuan atau pemberi petunjuk/pertanda baik dan buruk. Setelah besar mereka menyebar dan mengawasi wilayah kampungnya, dengan jalan sendiri-sendiri, dan suatu saat mereka kerap bersatu dalam keharmonisan.
Tidak lama kemudian, Lemunik Ari hamil lagi dan anehnya kehamilan tersebut selama tujuh tahun. Pada saat Lemunik Ari mengandung selama tujuh tahun, selama itu pula sang suami tidak mengetahuinya. Sang suami (Lemamakng Culi) pergi berburu, yang merupakan pekerjaan rutinnya, bahkan sampai saat istrinya melahirkan, belum juga pulang. Hal ini menyebabkan Lemunik Ari sangatlah sedih. Kekhawatiran yang menakutkan dirinya sendiri terjadi, yakni anak yang dilahirkannya berupa enam jenis tumbuhan Daun Sabang, dan seorang manusia, mereka adalah: Sabang Api, Sabang Bakung, Sabang Upak, Sabang Seluang, Sabang Surai, Sabang Palit dan Untag Uli (manusia laki-laki).
Anak yang bungsu (Untag Uli) sangatlah mengagumkan. Begitu lahir, anak tersebut langsung dapat berdiri, berlari dan pergi mencari ayahnya yang sedang berburu ke hutan. Ketika sedang mencari sang ayahnya di hutan, Untag Uli melihat ada seekor babi besar sekali. Karena naluri membantu orang tua mencari nafkah begitu kuat maka dihunjamkannya tombak ke arah babi tersebut sekuat tenaga. Saking kuatnya melemparkan tombak itu menyebabkan tertembusnya tubuh babi langsung lepas ke sebelahnya dan tombak tersebut langsung menerjang seperti peluru. Tanpa diduga langsung mengenai ayahnya yang ternyata tidak jauh di depannya. Sang ayah meninggal seketika. Saat itu terperanjatlah Untag Uli dan dalam kesedihan jenazah ayahnya dibawa pulang dan diberitahukan kepada ibunya.
Melihat jasad suaminya dan mendengar penuturan anaknya, bersedihlah Lemunik Ari. Saking sedih dan dukanya, berbicara dan makan pun tak mau untuk sekian lama. Di suatu hari akhirnya sang ibu memberikan alasan dan perintah kepada Untag Uli, bahwa ia akan makan dan berbicara jika Untag Uli mencari dan membawa sebuah kepala. Berdasarkan perintah dan saking menurutnya pada sang ibu, Untag Uli menyanggupinya. Maka suatu hari berembuklah Untag Uli dan Sabang bersaudara merencanakan untuk berburu kepala binatang. Keesokan harinya rencana berburu mereka lakukan dengan menyisir bagian hutan yang diyakini masih banyak binatangnya. Dengan penuh kegembiraan dibawanyalah hasil perburuan tersebut, di antaranya kepala beruk, kera dan sejenisnya.
Kepala tersebut dibawa Untag Uli pulang ke rumah untuk dipersembahkan kepada sang ibu. Tetapi kepala hasil buruan yang didapat belum berkenan di hati ibunya. Untag Uli dan Sabang Menyade’ (Sabang bersaudara) pergi lagi berburu mencari kepala binatang yang mungkin berkenan di hati ibunya.
Setelah berhari-hari berburu, mereka bertemu dengan saudara tua mereka yang disebut Sengalang Burong yang dipimpin kakaknya yang tertua yakni Burung Papau. Mereka sedang mendayung sampan dan melihat Untag Uli dan Sabang Menyade’ yang merupakan saudara mudanya. Maka senanglah mereka. Untag Uli dan Sabang Menyade’diajak Sengalang Burong ikut serta. Mereka pun mengikuti saudara tuanya yang dipimpin oleh Burung Papau bermalam di langkau (pondok) di hutan.
Selanjutnya Untag Uli dan Sabang Menyade’ menceritakan masalah yang mereka hadapi dan merencanakan tugas yang telah menjadi tekat mereka yakni berburu kepala. Untuk merencanakan perburuan tersebut selaku yang tertua dan merupakan burung yang dipercaya sebagai burung pengetahuan, Burung Papau mengatakan bahwa sang ibu meminta di persembahkan sebuah kepala manusia, dengan maksud agar rohnya digunakan sebagai ulun (hamba) untuk sang ayah di dunia sebayan (surga-akhirat), dan Burung Papau juga berpesan kepada Untag Uli, jika ingin berburu kepala manusia haruslah mendengarkan atau melihat kemunculan tanda yang disampaikan oleh seluruh saudara tuanya yakni Sengalang Burong.
Setelah Sabang Menyade’ dan Untag Uli selesai mendengar nasihat, petuah dan pesan yang diberikan oleh Sengalang Burong, betapa sedih bercampur ragulah hatinya. Tetapi karena dorongan perasaan bersalah yang menyebabkan ayahnya meninggal dan untuk memulihkan kesedihan sang ibu, akhirnya mereka tetap bertekat mengadakan pengayauan (mencari kepala manusia). Keesokan harinya mereka mulai menyebar mencari suara Sengalang Burong dan tanda seperti yang telah dinasihatkan. Dimulai dengan:
  1. Sabang Api, ia mendengar suara Burung Papau dan menyerapa (berharap dan bersumpah agar kata-kata yang  diucapkan terkabul): “Nyak Papau dan atau ngau kami antek meti’ buleh jane’ jelu babi”. Artinya: Itu Burung Papau di dahan atas kami gunakan jika memasang belantik mendapat babi. Burung ini didengar untuk petunjuk jika orang mau berburu dan memasang. Setelah mendapatkan pesan tersebut, Sabang Api kembali dan menunggu saudaranya di langkau (pondok).
  2. Sabang Bakung, ia mendengar suara Burung Beragai tertawa dan Sabang Bakung menyerapa; “Munyi Nuan ketawa’ gaga, kami ngelalau ngitau kerang api”. Burung ini didengar ketika orang akan mengambil madu lebah.
  3. Sabang Upak, mendengar suara Burung Gemuas, maka ia pun menyerapa: “Gayu Nuan diau da rampu’, kami diau da batu, wan idup bejako’ isa’ kami idup gayu”. Burung ini didengar ketika orang hendak mencari bahan bangunan untuk rumah.
  4. Sabang Seluang, ia mendengar suara Burung Pangkas dan menyerapa: “Pangkis gaga nuan, isa’ kami idup nyamai umur panyai”. Burung ini didengar sebagai pertanda kehidupan yang aman tenteram dan umur panjang.
  5. Sabang Palit, mendengar suara Burung Gegurak, ia menyerapa: “ketawa’ gaga antek kami nempak peti menanyi”. Burung ini didengar untuk hari baik ketika akan membuat senjata api (senapan).
  6. Sabang Surai, mendengar suara Burung Ketupong, ia menyerapa: “Ngau kami ngagah tuku’ padi”. Burung ini didengar ketika orang akan membuka ladang.
  7. Untag Uli, ia mendengar suara Burung Bejampung, Untag Uli menyerapa:”Kering besi, kering semengat, nadai alah, nadai lemah, kami mumpung baroh padung, munggak baroh pala, netak urank beranak”. Artinya: sekeras besi, jiwa kuat, pantang menyerah, kuat perkasa, kami memotong kepala di bawah loteng, memenggal di bawah kepala, memotong orang sedang beranak. Burung ini didengar untuk pergi mengayau dan merupakan simbol keberanian dalam mempertahankan harkat dan martabat, simbol pantang mundur.
Setelah mendengar tanda dari Sengalang Burong, mereka berkumpul kembali di pondok Burung Papau dan meminta petunjuk. Burung Papau memberikan arahan dengan mengatakan bahwa kepergian mereka akan selamat selama ekspedisi mengayau (berburu kepala manusia). Katanya, “Nah, dapatlah kalian kepala”. Setelah semua yang di petuahkan telah mereka lakukan mulailah mereka melakukan pengayauan, dari Tampun Juah ke arah sebelah matahari terbenam. Pertama, melewati Kampung Dema’ kira-kira pada masa kini adalah daerah Jangkang, Bedayuh atau Sungkung. Mereka bertarung mengayau di kampung itu. Dalam pengayauan pertama ini Untag Uli dan Sabang Menyade’ berhasil mendapatkan seorang wanita yang sedang hamil tua. Mereka membawa kepala wanita itu dan anaknya yang masih dalam kandungan. Mengayau wanita hamil disebut kayau tusup buntak.
Saat pengayauan terjadi, Burung Bejampung mengantar mereka sampai pada kemenangannya, dan suaranya masih dapat didengarkan oleh Untag Uli dan Sabang menyade’. Selanjutnya mereka pulang ke pondok Burung Papau dan menyalai (mengasapi) kepala hasil kayauan. Kemudian Burung Papau kembali berpesan: “Ini persembahkan untuk ibu kalian, maka nanti pasti ia mau makan. Jika kalian telah sampai di rumah, kalian harus menjemput Sengalang Burong untuk mengadakan Gawai Pala’. Untag Uli sendirilah yang harus menjemput kakak tertua mereka yaitu; Burung Papau bersaudara. Selain itu, Burung Papau memberi petuah kepada Untag Uli dan Sabang Menyade’ agar membuat pantar (panggung kecil) untuk menyambut kepala kayauan, dengan maksud agar di kemudian hari tidak ada saling balas membalas, kayau-mengayau lagi. Tugas membuat pantar, dilakukan oleh Sabang Menyade’ (Sabang bersaudara), haruslah rapi, tidak boleh besunank (kayunya saling berlawanan arah antara pangkal dan ujung).
Karena pembuatan pantar tanpa di lihat oleh Untag Uli maka dibuat oleh Sabang Menyade’ tidaklah rapi, ada yang sengaja terbalik atau sungsang dengan maksud agar terjadi lagi kayau-mengayau. Maklum, Sabang Menyade’ mempunyai kegemaran mengayau. Tidak lama kemudian datanglah Sengalang Burong bersaudara yang diundang untuk Gawai pala’. Mereka membawa sebuah tajau (tempayan) berisi beram/tuak. Ketika sampai di rumah, tajau yang dibawa Sengalang Burong tiba-tiba terbalik dan tumpah. Hal ini pertanda yang tidak baik. Sisa tuak mereka bagikan sesama Sengalang Burong. Hal ini menyebabkan Sengalang Burong mabuk dan takut pulang, karena takut tertimpa ganggang besundang (terantuk bagian tengah rumah panjang karena tulah yang dilakukan Sabang Menyade’ terhadap pembuatan pantar).
Kemudian Sengalang Burong berkata, “Mulai sekarang balas membalaslah kalian mengayau, karena susunan pantar telah besunank” (semuanya telah terbalik). Oleh sebab itu jika mengayau, Daun Sabang senantiasa dibawa karena Daun Sabang hobi mengayau, atau paling tidak diselitkan di rumah atau diikat di kepala samping telinga. Setelah itu Burung Papau berkata bahwa jika kalian turun mengayau belum tentu menang dan belum tentu kalah, namun saling balas-membalas.
48BBD6PYT2W8
Sumber: http://mualangmiga.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar